DISUSUN
OLEH :
YUNIKARTIKA
111 212 0004
PROGRAM
STUDI KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga
laporan “Hasil observasi lapangan” ini dapat terselesaikan dengan
baik. Dan tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam
yang penuh kebodohan kealam yang penuh kepintaran.
Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini. Dan kami juga mengucapkan permohonan
maaf kepada setiap pihak jika dalam pembuatan laporan ini ada
kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah membacanya dan terlebih
dapat bermanfaat bagi penulis sebagai bahan pendukung nilai tambah
dari hasil final bioetik.
Makassar,
6
Desember 2012
Penulis
Penulis
HAK
AUTONOMI PASIEN
Pada Blok II Dental
Etik,
Humaniora
dan Profesionalisme,
saya
dan teman-teman mendapatkan tugas untuk
melakukan Observasi
Lapangan.
Tepatnya pada hari Senin, tanggal 3 Desember 2012 observasi lapangan
dilakukan. Observasi ini tempatnya terbagi menjadi tiga bagian yaitu
pertama di Rumah Sakit A, kemuadian yang kedua di Klinik Swasta B dan
yang ketiga di Puskesmas C. Tempat yang akan saya lakukan pengamatan
adalah di klinik swasta B. Saya tidak sendiri karena sudah memiliki
kelompok yang sebelumnya dibagi beberapa kelompok. Saya kelompok 4,
Kelompok saya terdiri dari delapan orang. Satu orang sebagai ketua
yang memiliki tanggung jawab dan yang akan memandu jalannya suatu
observasi lapangan. Selain ketua terdapat juga dokter yang akan
mendampingi kegiatan observasi lapangan tersebut. Pengamatan yang
akan dilakukan kurang lebih satu jam.
Tepat
pukul 09.30 WITA, saya dan teman-teman berangkat menuju tempat
observasi
kami yang
berada dibagian wilayah Utara Kota Makassar tepatnya di
Klinik Swasta B.
Saya
dan teman-teman menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit.
Tak
lama berselang,
saya
bersama teman-teman satu kelompok tiba di Klinik B tepat pukul 10.00
WITA. Tempatnya terletak di jalan Tentara Pelajar. Hal pertama yang
saya lakukan adalah mengamati jam kerja dari klinik tersebut yang
terpajang tepat didepan klinik B tersebut. Tiap hari kerja yaitu pagi
jam 08.30-11.30 dan sore jam 17.00-21.00. Sebelum masuk ke dalam
klinik, ketua harus melapor terlebih dahulu untuk meminta izin
dilakukan observasi. Setelah diberi izin baru bisa dilakukan
pengamatan. Dari awal masuk sudah kelihatan klinik itu sudah cukup
lama dimulai dari sarana yang sudah kelihatan tua dan lama.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh seorang dokter bahwa
klinik tersebut sudah lama didirikan yaitu sejak tahun 1964. Pada
saat itu, yang bekerja hanya perawat umum dan perawat gigi. Klinik
ini pernah ditutup karena terjadi PKI
yang bergejolak. Pada tahun 1989, perawat membentuk PPKI. Perkataan
yang saya tangkap bahwa dokter mengatakan, “PPKI itu Persatuan
Perawat apa gitu.” Dokter mengatakan hal tersebut sembari tersenyum
lebar diselingi tertawa kecil. Lalu dokter melanjutkan lagi
penjelasannya bahwa yang sekarang PPKI itu sudah berkembang menjadi
PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia). Dahulu, Klinik ini masih
dipegang oleh perawat karena dokter masih sedikit. Klinik ini juga
pernah kurang kendali disebabkan adanya kendala keuangan. “Adapun
arsitektur
bangunan tersebut seperempatnya masih bangunan lama dan juga faktor
finansial
yang masih kurang, sehingga klinik ini begini-begini saja.” kata
Dokter. Singkat sejarah dari klinik ini berdasarkan keterangan dan
fakta yang disampaikan oleh dokter kepada saya dan teman-teman.
Pukul
10.30 saya bersama teman-teman kelompok memasuki ruangan tempat
pasien yang akan diamati. Namun sebelum itu dokter meminta izin
terlebih dahulu kepada pasien A. Singkat yang dapat saya tangkap dari
pembicaraan dokter dengan pasien A. Dengan suara dokter yang
terdengar sangat ramah bertanya kepada pasien, “Bu,
sebelumnya saya mau meminta persetujuan dari Ibu.” Ibu itu berkata
“ada apa, dok.”
Dokter
kemudian menjawab, “ada mahasiswa kami yang akan melakukan
observasi dan mereka sekarang ingin melakukan pengamatan dari pasien,
apa
ibu bersedia jika mereka mengamati Ibu?” Pasien kemudian berkata
lagi, “jangan mi
dok, malu ka.”
Setelah selesai berbicara kepada pasien, dokter lalu memberi
penjelasan kepada saya dan teman-teman bahwa pasiennya tidak ingin
dilakukan pengamatan terhadapnya. Sehingga saya dengan teman-teman
diminta untuk menunggu pasien selanjutnya. Sambil menunggu dokter
memeriksa pasien pertama tersebut, secara tidak sengaja saya
mendengar setiap perkataan yang diucapkan baik dari dokter dan
pasien. Terdengar jelas oleh saya dokter memperlakukan pasien dengan
ramah. Meskipun hanya suara (audio), namun saya bisa menangkap
adanya hubungan serta komunikasi yang baik antar dokter dan pasien.
Setelah dokter selesai mengatasi permasalahan pasien A tersebut,
dokter lalu memberikan penjelasan kepada saya dan teman-teman
mengenai permasalahan pasien A yang tidak bisa kami amati. Dokter
berkata, “Pasien itu adalah seorang wanita yang merupakan pasien
lanjutan perawatan dalam penambalan gigi atau endodontik.”
Saya
terus mencatat apa yang dikatakan dokter sambil menganggukkan kepala
tanda mengerti.
Selama
menunggu pasien selanjutnya, ada salah satu dari teman kelompok saya
yang menanyakan permasalahan yang terjadi pada giginya dan meminta
saran dokter. Dokter memanggil pasien masuk ke ruang perawatan untuk
memastikan permasalahan yang terjadi pada giginya, dengan penuh
keragu-raguan dan ketakutan pasien B pun mengikuti dokter ke ruang
klinik. Pada
pasien B
ini
saya
dan teman-teman
sangat bergerak aktif melihat dokter tersebut melakukan pengobatan.
Dokter
mempersilahkan pasien duduk untuk
dilakukan anamnesis.
Dokter
lalu
bertanya
pada pasien tentang masalah gigi yang di alaminya. Dengan
raut wajah yang kusam,
pasien
B
pun memberitahu dokter bahwa giginya
berlubang
dan patah bagian atas.
Patahan
gigi
pasien
masih tertanam. Dokter lalu
memberi
saran kepada pasien agar gigi yang masih tertanam itu
lebih
baik di cabut agar kuman tidak masuk,
tetapi dokter tersebut mengembalikan ke pasien (autonomi pasien),
apakah pasien ingin di cabut giginya (ekstraksi)
atau
tidak. Awalnya pasien masih ragu, tetapi teman-teman saya memberi
semangat kepada pasien,
karena pasien B
adalah
salah
satu teman
anggota
dari kelompok saya dan
akhirnya dia setuju
giginya dicabut.
Dokter pun mempersilahkan pasien duduk di Dental Unit. Dengan
wajah yang kelihatan pasrah pasien mengikuti setiap intruksi yang
diberikan oleh dokter. Pasien
terlihat ketakutan terutama
saat dokter
mengambil sesuatu yang berkaitan dengan suntikan. Namun, dokter
tersebut dengan sabar memberi penjelasan pada pasien bahwa suntikan
yang di berikan padanya bertujuan untuk mematikan rasa pada gigi
sehingga ketika dokter mencabut gigi, si pasien tidak merasakan sakit
atau
anastesi.
Dan
untungnya saya dan teman-teman tetap memberi semangat pada pasien.
Pasien terlihat masih takut dengan muka yang pucat. Dokter pun
memulai proses pencabutan gigi pada pasien.
Dokter melakukan
anastesi
sebanyak dua kali pada pasien. Pertama, dokter memulai dengan
menyuntik gigi yang akan di cabut (anastesi) di sebelah kiri. Pasien
terlihat sangat ketakutan dan berteriak. Teman-teman saya juga ikut
berteriak pada saat itu. Setelah
itu,
dokter
melakukan
anastesi kedua dan pasien tetap berteriak.
Selesai melakukan anastesi dokter
meminta pasien ber kumur-kumur
terlebih dahulu.
Dokter
melanjutkan
pemeriksaan keadaan
gigi pasien, apakah gigi pasien masih sakit apabila di cabut atau
tidak. Pasien
pun sdengan rasa takut mengatakan ia.Saya
melihat dokter mencoba
menenangkan pasien
agar pasien tidak merasa takut dan sesekali dokter menekankan pada
pasien bahwa sebenarnya yang membuat pasien sakit bukan pencabutan
giginya, tapi karena ketakutan pasien yang berlebihan. Setelah
pencabutan gigi berakhir,
dokter
kemudian
memberi
saran pada pasien agar tidak sering meludah dan tidak memakan makanan
yang terlalu panas. Saya
mengamati bahwa komunikasi antar dokter dan pasien sangat baik bahkan
dokter juga memperhatikan hak autonomi dan beneficence pasien.
Setelah
pengamatan pasien B
selesai,
ternyata saya dan kelompok saya merasa observasi lapangan pada pasien
B
ini
kurang objektif. Itu karena pasien B
ini adalah teman
kelompok saya sendiri. Dan menurut teman
saya,
pengamatan ini kurang memuaskan
karena pasien kedua ini teman saya sendiri sehingga saya
dan teman-teman kurang
objektif dalam pengamatannya. Sedangkan kelompok saya ingin melakukan
pengamatan pada pasien yang benar-benar orang awam yang kelompok saya
tidak kenal. Akhirnya,
ketua kelompok memberitahu kepada dokter bahwa kelompok saya masih
ingin menunggu pasien berikutnya dikarenakan pasien B
ini
kurang objektif. Ternyata saya mendengar dokter pun berfikir demikian
dan menyarankan
kepada saya dan teman-teman kembali ke klinik sekitar jam 17.00 WITA
dikarenakan pasiennya lebih banyak datang sore dibandingkan pagi.
Saya dan teman-teman memutuskan untuk datang ketempat ini jam 17.00
WITA.
Pukul
16.30 WITA, saya dan teman-teman tiba di Klinik B untuk melakukan
pengamatan ulang. Setelah beberapa menit, dokter pun datang dan
mempersilahkan kami masuk. Dokter meminta kami menunggu di depan
pintu masuk kedua, karena pintu masuk pertama hanya boleh dilakukan
pasien. Dokter
kembali memberi intruksi tentang pasien yang akan
diamati.
Pasien tersebut adalah pasien tetap dokter di tempat itu.
Sebelum dilakukan pengamatan dokter terlebih dahulu meminta izin
kepada pasien apa ia bersedia diamati atau tidak. Setelah itu dokter
mempersilahkan kami mengamati perawatan yang akan dilakukan terhadap
pasien. Hal ini terlihat jelas bahwa dokter sangat menjaga privasi
pasien dan menghargai martabat pasien.
Pasien C
yang
akan saya
amati adalah seorang wanita yang berumur 27 tahun. Tujuan pasien ke
klinik lebih tepatnya untuk melakukan ortodontik yang sudah lama
dijalaninya sejak tahun 2009 sampai sekarang. Pasien
C
ini pada awalnya ditangani oleh saudara dari dokter yang sekarang
namun karena hal tertentu hingga akhirnya pasien ditangani oleh
dokter yang bekerja di klinik sekarang. Perawatan yang akan di jalani
ini sudah berlangsung sekitar dua setengah tahun. Sehingga proses
anamnesis
sudah dilakukan sejak itu. Dokter mempersilahkan pasien untuk
berbaring di atas dental
unit.
Pada saat dilakukan pemeriksaan dan berbagai proses lainnya saya
mengamati bagaimana
cara dokter memberikan pelayanan kepada pasien sangat baik.
Setelah dilakukan perawatan,
kami diberi kesempatan untuk mewawancarai pasien. Salah satu teman
dari kelompok saya bertanya kepada pasien, “kak, mengapa kakak
melakukan perawatan
ortodontik ?”
sembari
mengerakkan tangan dengan malu-malu pasien menjawab, “yah, supaya
bagus,
supaya cantik juga.”
Lalu
teman saya bertanya
lagi,
“apa ada paksaan saat kakak melakukan ortodontik atau ada pihak
yang terlibat?”
Sambil
tersenyum manis pasien menjawab, “semua inisiatif dari saya
sendiri.”
Dengan
malu-malu teman saya bertanya lagi, “apa dokter mengambil
keuntungan dari perawatan ini?”
Sambil
menggaruk kepala pasien dan agak malu-malu pasien menjawab, “Dokter
tidak pernah mengambil keuntungan dari perawatan yang saya lakukan”.
Teman saya
bertanya lagi,
“bagaimana pelayanan yang diberikan dokter kepada kakak?”
Dengan
senyum yang ramah pasien kemudian menjawab, “dokter sangat ramah.”
Pertanyaan
terakhir,
“apa penjelasan yang diberikan dokter mudah dimengerti atau tidak?”
Sambil
mengatur posisi baringnya pasien menjawab, “sangat mengerti ji,
karena bahasa nonformal
ji
yang mudah dicerna.”
Selesai bertanya dokter meminta kami menyudahi wawancara kepada
pasien. Saya dan teman-teman berterima kasih kepada pasien atas waktu
dan kesempatan karena bersedia diwawancarai.
Sambil
berdiskusi dengan teman-teman
dokter kemudian mengarahkan kami untuk melakukan pengamatan kepada
pasien selanjutnya, namun dokter tidak ingin kami melakukan foto
kepada pasien
D.
Dokter mengatakan pasien ini baru pertama kali di klinik.
Setelah memberikan penjelasan,
dokter
kemudian meminta izin terlebih dahulu kepada pasien sebelum dilakukan
pengamatan. Setelah selesai dokter pun meminta saya dan teman-teman
untuk melakukan pengamatan. Dari cara dokter memberikan pengarahan
kepada pasien
D
terlihat jelas komunikasi terjalin dengan baik antara pasien dengan
dokter
tidak ada gerak-gerik yang menunjukkan ketidak nyaman pasien.
Dari
keempat pasien yang saya amati hak autonomi pada pasien sangat
memenuhi semua kriteria yang pertama dokter menghargai hak dan
martabat pasien seperti yang terjadi pada pasien A yang tidak ingin
dilakukan observasi pada dirinya. Dokter tidak mengintervensi pasien
dalam membuat keputusan contohnya saat dilakukan pengamatan terhadap
pasien B dimana dokter hanya mengusahakan manfaatnya lebih besar
daripada kerugiannya (beneficence) begitu juga pada pasien A,C dan D
dokter juga tetap mengembalikan segala keputusan kepada pasien itu
sendiri. Selanjutnya dokter berterus terang kepada pasien A, B, C
maupun D berdasarkan pengamatan yang saya lakukan dokter menjelaskan
kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya. Dokter juga
menghargai rasionalitas pada pasien terutama pada pasien B dimana
dokter mendengarkan keluh kesah pasien, namun tetap memberikan yang
terbaik bagi pasien. Selanjutnya yaitu dokter menghargai dan menjaga
rahasia maupun privasinya seperti dikatakan tadi pasien C dan D tidak
ingin diketahui identitas sebenarnya. Dokter tentu menyetujui karena
itu merupakan hak dari seorang pasien. Kemudian melaksanakan Informed
Consent dimana Informed Consent itu sudah lama terjadi pada pasien C
yang melakukan perawatan ortodontik kurang lebih tiga sampai empat
tahun. Sedangkan pada pasien B informed Consent terjadi pada saat
pasien sudah membukan mulutnya. Selanjutnya, adanya hubungan yang
baik sebagaimana yang saya paparkan sebelumnya bahwa sudah terjalin
hubungan (kontrak) antara dokter dengan pasien. Saya menyimpulkan
bahwa dari pelayanan dari pasien A yang tidak kami amati, lalu
pasien B teman saya sendiri dan pasienC yang baru saja dilakukan
pemeriksaan bahwa dokter dalam memberikan pelayanan sangat
memperhatikan hak autonomi dan beneficence seorang pasien. Antara
pasien pertama sampai pasien terakhir, pelayanan yang diberikan
dokter dalam hal ini sama, tidak ada perbedaan atau membeda-bedakan
umur baik pasien itu sudah tua masih remaja bahkan dewasa, dokter
senantiasa memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan senyaman mungkin
kepada pasien.
Kesimpulannya
dokter tersebut sudah memenuhi aspek Humaniora, Profasionalisme dan
etika. Dimana dalam aspek humaniora dokter tidak membeda-bedakan
pelayanan antara pasien satu dengan pasien yang lainnya. Profesional
dalam artian dokter sudah profesional dalam melakukan pemeriksaan
hingga pelayanan yang diberikan. Setelah itu, aspek etika dimana
dokter memperlakukan pasien sudah selayaknya sesuai dengan hak
autonomi yang dimiliki pasien. Dan dari pengamatan yang saya lakukan,
saya berharap perlakuan yang seperti inilah yang seharusnya
didapatkan oleh pasien mulai dari kenyamanan hingga kepuasan
pelayanan. Hal ini menjadi cambuk tersendiri bagi saya yang nantinya
Insya Allah akan menjadi penerus generasi sebagai seorang dokter
mampu memberikan pelayanan yang baik, senyaman mungkin untuk pasien
dan memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada pasien. Selain
itu juga, saya mampu lebih baik lagi daripada dokter yang saya amati.
Demikian
hasil pengamatan saya, kurang dan lebihnya mohon dimaafkan
dikarenakan kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata dan kesalahan
datang dari diri saya pribadi, namun semoga dengan membacanya
menginspirasi kita untuk menjadi seorang dokter yang menjunjung
tinggi hak dari pasien. terima kasih atas kesemptan yang diberikan
untuk menuangkan segala yang terjadi dalam sebuah tulisan yang
bertinta hitam. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaaikum
Wr.Wb
Masya Allah... semoga jd dokter gigi yg bisa memberikn manfaat kepada pasiennya
AntwoordVee uit