Vrydag 29 Maart 2013

Observasi Lapangan



DISUSUN OLEH :
YUNIKARTIKA 111 212 0004


PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2012


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga laporan “Hasil observasi lapangan” ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa kami kirimkan salam dan shalawat kepada Nabi junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang penuh kebodohan kealam yang penuh kepintaran.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu dalam pembuatan laporan ini. Dan kami juga mengucapkan permohonan maaf kepada setiap pihak jika dalam pembuatan laporan ini ada kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi setiap pihak yang telah membacanya dan terlebih dapat bermanfaat bagi penulis sebagai bahan pendukung nilai tambah dari hasil final bioetik.


Makassar, 6 Desember 2012


Penulis

HAK AUTONOMI PASIEN
Pada Blok II Dental Etik, Humaniora dan Profesionalisme, saya dan teman-teman mendapatkan tugas untuk melakukan Observasi Lapangan. Tepatnya pada hari Senin, tanggal 3 Desember 2012 observasi lapangan dilakukan. Observasi ini tempatnya terbagi menjadi tiga bagian yaitu pertama di Rumah Sakit A, kemuadian yang kedua di Klinik Swasta B dan yang ketiga di Puskesmas C. Tempat yang akan saya lakukan pengamatan adalah di klinik swasta B. Saya tidak sendiri karena sudah memiliki kelompok yang sebelumnya dibagi beberapa kelompok. Saya kelompok 4, Kelompok saya terdiri dari delapan orang. Satu orang sebagai ketua yang memiliki tanggung jawab dan yang akan memandu jalannya suatu observasi lapangan. Selain ketua terdapat juga dokter yang akan mendampingi kegiatan observasi lapangan tersebut. Pengamatan yang akan dilakukan kurang lebih satu jam.
Tepat pukul 09.30 WITA, saya dan teman-teman berangkat menuju tempat observasi kami yang berada dibagian wilayah Utara Kota Makassar tepatnya di Klinik Swasta B. Saya dan teman-teman menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit. Tak lama berselang, saya bersama teman-teman satu kelompok tiba di Klinik B tepat pukul 10.00 WITA. Tempatnya terletak di jalan Tentara Pelajar. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengamati jam kerja dari klinik tersebut yang terpajang tepat didepan klinik B tersebut. Tiap hari kerja yaitu pagi jam 08.30-11.30 dan sore jam 17.00-21.00. Sebelum masuk ke dalam klinik, ketua harus melapor terlebih dahulu untuk meminta izin dilakukan observasi. Setelah diberi izin baru bisa dilakukan pengamatan. Dari awal masuk sudah kelihatan klinik itu sudah cukup lama dimulai dari sarana yang sudah kelihatan tua dan lama. Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh seorang dokter bahwa klinik tersebut sudah lama didirikan yaitu sejak tahun 1964. Pada saat itu, yang bekerja hanya perawat umum dan perawat gigi. Klinik ini pernah ditutup karena terjadi PKI yang bergejolak. Pada tahun 1989, perawat membentuk PPKI. Perkataan yang saya tangkap bahwa dokter mengatakan, “PPKI itu Persatuan Perawat apa gitu.” Dokter mengatakan hal tersebut sembari tersenyum lebar diselingi tertawa kecil. Lalu dokter melanjutkan lagi penjelasannya bahwa yang sekarang PPKI itu sudah berkembang menjadi PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia). Dahulu, Klinik ini masih dipegang oleh perawat karena dokter masih sedikit. Klinik ini juga pernah kurang kendali disebabkan adanya kendala keuangan. “Adapun arsitektur bangunan tersebut seperempatnya masih bangunan lama dan juga faktor finansial yang masih kurang, sehingga klinik ini begini-begini saja.” kata Dokter. Singkat sejarah dari klinik ini berdasarkan keterangan dan fakta yang disampaikan oleh dokter kepada saya dan teman-teman.
Pukul 10.30 saya bersama teman-teman kelompok memasuki ruangan tempat pasien yang akan diamati. Namun sebelum itu dokter meminta izin terlebih dahulu kepada pasien A. Singkat yang dapat saya tangkap dari pembicaraan dokter dengan pasien A. Dengan suara dokter yang terdengar sangat ramah bertanya kepada pasien, Bu, sebelumnya saya mau meminta persetujuan dari Ibu.” Ibu itu berkata “ada apa, dok.” Dokter kemudian menjawab, “ada mahasiswa kami yang akan melakukan observasi dan mereka sekarang ingin melakukan pengamatan dari pasien, apa ibu bersedia jika mereka mengamati Ibu?” Pasien kemudian berkata lagi, “jangan mi dok, malu ka.” Setelah selesai berbicara kepada pasien, dokter lalu memberi penjelasan kepada saya dan teman-teman bahwa pasiennya tidak ingin dilakukan pengamatan terhadapnya. Sehingga saya dengan teman-teman diminta untuk menunggu pasien selanjutnya. Sambil menunggu dokter memeriksa pasien pertama tersebut, secara tidak sengaja saya mendengar setiap perkataan yang diucapkan baik dari dokter dan pasien. Terdengar jelas oleh saya dokter memperlakukan pasien dengan ramah. Meskipun hanya suara (audio), namun saya bisa menangkap adanya hubungan serta komunikasi yang baik antar dokter dan pasien. Setelah dokter selesai mengatasi permasalahan pasien A tersebut, dokter lalu memberikan penjelasan kepada saya dan teman-teman mengenai permasalahan pasien A yang tidak bisa kami amati. Dokter berkata, “Pasien itu adalah seorang wanita yang merupakan pasien lanjutan perawatan dalam penambalan gigi atau endodontik.” Saya terus mencatat apa yang dikatakan dokter sambil menganggukkan kepala tanda mengerti.
Selama menunggu pasien selanjutnya, ada salah satu dari teman kelompok saya yang menanyakan permasalahan yang terjadi pada giginya dan meminta saran dokter. Dokter memanggil pasien masuk ke ruang perawatan untuk memastikan permasalahan yang terjadi pada giginya, dengan penuh keragu-raguan dan ketakutan pasien B pun mengikuti dokter ke ruang klinik. Pada pasien B ini saya dan teman-teman sangat bergerak aktif melihat dokter tersebut melakukan pengobatan. Dokter mempersilahkan pasien duduk untuk dilakukan anamnesis. Dokter lalu bertanya pada pasien tentang masalah gigi yang di alaminya. Dengan raut wajah yang kusam, pasien B pun memberitahu dokter bahwa giginya berlubang dan patah bagian atas. Patahan gigi pasien masih tertanam. Dokter lalu memberi saran kepada pasien agar gigi yang masih tertanam itu lebih baik di cabut agar kuman tidak masuk, tetapi dokter tersebut mengembalikan ke pasien (autonomi pasien), apakah pasien ingin di cabut giginya (ekstraksi) atau tidak. Awalnya pasien masih ragu, tetapi teman-teman saya memberi semangat kepada pasien, karena pasien B adalah salah satu teman anggota dari kelompok saya dan akhirnya dia setuju giginya dicabut. Dokter pun mempersilahkan pasien duduk di Dental Unit. Dengan wajah yang kelihatan pasrah pasien mengikuti setiap intruksi yang diberikan oleh dokter. Pasien terlihat ketakutan terutama saat dokter mengambil sesuatu yang berkaitan dengan suntikan. Namun, dokter tersebut dengan sabar memberi penjelasan pada pasien bahwa suntikan yang di berikan padanya bertujuan untuk mematikan rasa pada gigi sehingga ketika dokter mencabut gigi, si pasien tidak merasakan sakit atau anastesi. Dan untungnya saya dan teman-teman tetap memberi semangat pada pasien. Pasien terlihat masih takut dengan muka yang pucat. Dokter pun memulai proses pencabutan gigi pada pasien.
Dokter melakukan anastesi sebanyak dua kali pada pasien. Pertama, dokter memulai dengan menyuntik gigi yang akan di cabut (anastesi) di sebelah kiri. Pasien terlihat sangat ketakutan dan berteriak. Teman-teman saya juga ikut berteriak pada saat itu. Setelah itu, dokter melakukan anastesi kedua dan pasien tetap berteriak. Selesai melakukan anastesi dokter meminta pasien ber kumur-kumur terlebih dahulu. Dokter melanjutkan pemeriksaan keadaan gigi pasien, apakah gigi pasien masih sakit apabila di cabut atau tidak. Pasien pun sdengan rasa takut mengatakan ia.Saya melihat dokter mencoba menenangkan pasien agar pasien tidak merasa takut dan sesekali dokter menekankan pada pasien bahwa sebenarnya yang membuat pasien sakit bukan pencabutan giginya, tapi karena ketakutan pasien yang berlebihan. Setelah pencabutan gigi berakhir, dokter kemudian memberi saran pada pasien agar tidak sering meludah dan tidak memakan makanan yang terlalu panas. Saya mengamati bahwa komunikasi antar dokter dan pasien sangat baik bahkan dokter juga memperhatikan hak autonomi dan beneficence pasien. Setelah pengamatan pasien B selesai, ternyata saya dan kelompok saya merasa observasi lapangan pada pasien B ini kurang objektif. Itu karena pasien B ini adalah teman kelompok saya sendiri. Dan menurut teman saya, pengamatan ini kurang memuaskan karena pasien kedua ini teman saya sendiri sehingga saya dan teman-teman kurang objektif dalam pengamatannya. Sedangkan kelompok saya ingin melakukan pengamatan pada pasien yang benar-benar orang awam yang kelompok saya tidak kenal. Akhirnya, ketua kelompok memberitahu kepada dokter bahwa kelompok saya masih ingin menunggu pasien berikutnya dikarenakan pasien B ini kurang objektif. Ternyata saya mendengar dokter pun berfikir demikian dan menyarankan kepada saya dan teman-teman kembali ke klinik sekitar jam 17.00 WITA dikarenakan pasiennya lebih banyak datang sore dibandingkan pagi. Saya dan teman-teman memutuskan untuk datang ketempat ini jam 17.00 WITA.
Pukul 16.30 WITA, saya dan teman-teman tiba di Klinik B untuk melakukan pengamatan ulang. Setelah beberapa menit, dokter pun datang dan mempersilahkan kami masuk. Dokter meminta kami menunggu di depan pintu masuk kedua, karena pintu masuk pertama hanya boleh dilakukan pasien. Dokter kembali memberi intruksi tentang pasien yang akan diamati. Pasien tersebut adalah pasien tetap dokter di tempat itu. Sebelum dilakukan pengamatan dokter terlebih dahulu meminta izin kepada pasien apa ia bersedia diamati atau tidak. Setelah itu dokter mempersilahkan kami mengamati perawatan yang akan dilakukan terhadap pasien. Hal ini terlihat jelas bahwa dokter sangat menjaga privasi pasien dan menghargai martabat pasien.
Pasien C yang akan saya amati adalah seorang wanita yang berumur 27 tahun. Tujuan pasien ke klinik lebih tepatnya untuk melakukan ortodontik yang sudah lama dijalaninya sejak tahun 2009 sampai sekarang. Pasien C ini pada awalnya ditangani oleh saudara dari dokter yang sekarang namun karena hal tertentu hingga akhirnya pasien ditangani oleh dokter yang bekerja di klinik sekarang. Perawatan yang akan di jalani ini sudah berlangsung sekitar dua setengah tahun. Sehingga proses anamnesis sudah dilakukan sejak itu. Dokter mempersilahkan pasien untuk berbaring di atas dental unit. Pada saat dilakukan pemeriksaan dan berbagai proses lainnya saya mengamati bagaimana cara dokter memberikan pelayanan kepada pasien sangat baik. Setelah dilakukan perawatan, kami diberi kesempatan untuk mewawancarai pasien. Salah satu teman dari kelompok saya bertanya kepada pasien, “kak, mengapa kakak melakukan perawatan ortodontik ?” sembari mengerakkan tangan dengan malu-malu pasien menjawab, “yah, supaya bagus, supaya cantik juga. Lalu teman saya bertanya lagi, “apa ada paksaan saat kakak melakukan ortodontik atau ada pihak yang terlibat?” Sambil tersenyum manis pasien menjawab, “semua inisiatif dari saya sendiri.” Dengan malu-malu teman saya bertanya lagi, “apa dokter mengambil keuntungan dari perawatan ini?” Sambil menggaruk kepala pasien dan agak malu-malu pasien menjawab, “Dokter tidak pernah mengambil keuntungan dari perawatan yang saya lakukan”. Teman saya bertanya lagi, “bagaimana pelayanan yang diberikan dokter kepada kakak?” Dengan senyum yang ramah pasien kemudian menjawab, “dokter sangat ramah. Pertanyaan terakhir, “apa penjelasan yang diberikan dokter mudah dimengerti atau tidak?” Sambil mengatur posisi baringnya pasien menjawab, “sangat mengerti ji, karena bahasa nonformal ji yang mudah dicerna.” Selesai bertanya dokter meminta kami menyudahi wawancara kepada pasien. Saya dan teman-teman berterima kasih kepada pasien atas waktu dan kesempatan karena bersedia diwawancarai.
Sambil berdiskusi dengan teman-teman dokter kemudian mengarahkan kami untuk melakukan pengamatan kepada pasien selanjutnya, namun dokter tidak ingin kami melakukan foto kepada pasien D. Dokter mengatakan pasien ini baru pertama kali di klinik. Setelah memberikan penjelasan, dokter kemudian meminta izin terlebih dahulu kepada pasien sebelum dilakukan pengamatan. Setelah selesai dokter pun meminta saya dan teman-teman untuk melakukan pengamatan. Dari cara dokter memberikan pengarahan kepada pasien D terlihat jelas komunikasi terjalin dengan baik antara pasien dengan dokter tidak ada gerak-gerik yang menunjukkan ketidak nyaman pasien.
Dari keempat pasien yang saya amati hak autonomi pada pasien sangat memenuhi semua kriteria yang pertama dokter menghargai hak dan martabat pasien seperti yang terjadi pada pasien A yang tidak ingin dilakukan observasi pada dirinya. Dokter tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan contohnya saat dilakukan pengamatan terhadap pasien B dimana dokter hanya mengusahakan manfaatnya lebih besar daripada kerugiannya (beneficence) begitu juga pada pasien A,C dan D dokter juga tetap mengembalikan segala keputusan kepada pasien itu sendiri. Selanjutnya dokter berterus terang kepada pasien A, B, C maupun D berdasarkan pengamatan yang saya lakukan dokter menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya. Dokter juga menghargai rasionalitas pada pasien terutama pada pasien B dimana dokter mendengarkan keluh kesah pasien, namun tetap memberikan yang terbaik bagi pasien. Selanjutnya yaitu dokter menghargai dan menjaga rahasia maupun privasinya seperti dikatakan tadi pasien C dan D tidak ingin diketahui identitas sebenarnya. Dokter tentu menyetujui karena itu merupakan hak dari seorang pasien. Kemudian melaksanakan Informed Consent dimana Informed Consent itu sudah lama terjadi pada pasien C yang melakukan perawatan ortodontik kurang lebih tiga sampai empat tahun. Sedangkan pada pasien B informed Consent terjadi pada saat pasien sudah membukan mulutnya. Selanjutnya, adanya hubungan yang baik sebagaimana yang saya paparkan sebelumnya bahwa sudah terjalin hubungan (kontrak) antara dokter dengan pasien. Saya menyimpulkan bahwa dari pelayanan dari pasien A yang tidak kami amati, lalu pasien B teman saya sendiri dan pasienC yang baru saja dilakukan pemeriksaan bahwa dokter dalam memberikan pelayanan sangat memperhatikan hak autonomi dan beneficence seorang pasien. Antara pasien pertama sampai pasien terakhir, pelayanan yang diberikan dokter dalam hal ini sama, tidak ada perbedaan atau membeda-bedakan umur baik pasien itu sudah tua masih remaja bahkan dewasa, dokter senantiasa memberikan pelayanan sebaik-baiknya dan senyaman mungkin kepada pasien.
Kesimpulannya dokter tersebut sudah memenuhi aspek Humaniora, Profasionalisme dan etika. Dimana dalam aspek humaniora dokter tidak membeda-bedakan pelayanan antara pasien satu dengan pasien yang lainnya. Profesional dalam artian dokter sudah profesional dalam melakukan pemeriksaan hingga pelayanan yang diberikan. Setelah itu, aspek etika dimana dokter memperlakukan pasien sudah selayaknya sesuai dengan hak autonomi yang dimiliki pasien. Dan dari pengamatan yang saya lakukan, saya berharap perlakuan yang seperti inilah yang seharusnya didapatkan oleh pasien mulai dari kenyamanan hingga kepuasan pelayanan. Hal ini menjadi cambuk tersendiri bagi saya yang nantinya Insya Allah akan menjadi penerus generasi sebagai seorang dokter mampu memberikan pelayanan yang baik, senyaman mungkin untuk pasien dan memberikan hak yang seharusnya diberikan kepada pasien. Selain itu juga, saya mampu lebih baik lagi daripada dokter yang saya amati.
Demikian hasil pengamatan saya, kurang dan lebihnya mohon dimaafkan dikarenakan kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata dan kesalahan datang dari diri saya pribadi, namun semoga dengan membacanya menginspirasi kita untuk menjadi seorang dokter yang menjunjung tinggi hak dari pasien. terima kasih atas kesemptan yang diberikan untuk menuangkan segala yang terjadi dalam sebuah tulisan yang bertinta hitam. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaaikum Wr.Wb

1 opmerking:

  1. Masya Allah... semoga jd dokter gigi yg bisa memberikn manfaat kepada pasiennya

    AntwoordVee uit