Vrydag 29 Maart 2013

Jika Aku Menjadi .....


Makassar, 28 Januari 2013
KISAHKU,,, JIKA AKU MENJADI.....
MENOLONG BUKAN UNTUK UANG TAPI KARENA KEWAJIBAN”

DISUSUN OLEH :
NAMA :YUNIKARTIKA
STAMBUK : 111 212 0004

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013


Assalamu'alaikum Wr.Wb
Semoga cerpen ini bermanfaat dan bisa menginspirasi..... Ok Siiiippp ^_^
Matahari muncul dari tempat persembunyiannya, dedaunan menari-nari, ayam bernyanyi, dan burung yang berkicau membangunkan ku yang terbuai mimpi. Kamar yang berantakan, kertas-kertas yang berserakan membuatku tersentak kaget dan segera merapikannya. Koper yang berada di sudut kamar membuatku teringat untuk segera membereskan pakaian karena harus pergi kesuatu desa untuk melaksanakan tanggung jawab yang besar yaitu tanggung jawab seorang dokter. Dalam hati, ku berkata “aku siap kemana pun jika itu adalah jihad yang ku tempuh untuk memperoleh ridho-Nya.” Setelah semua selesai, aku siap untuk berangkat.
Setiba di antrian bus, aku siap naik di bus dengan desak-desakan dengan penumpang lainnya. Namun tubuhku masih bisa menyelip seperti layaknya seorang pencuri yang cepat dan ahli... huhu. Sejam kemudian bus itu pun berangkat. Menikmati udara yang mendamaikan hatiku, angin yang sepoi-sepoi sepanjang perjalanan membuat hari itu terasa dingin. Sambil kulirik kertas yang bertuliskan Desa Perangeng Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan yah disinilah tempat yang aku tuju untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabku sebagai seorang dokter yang wajib menolong orang yang sakit.
Beberapa jam kemudian, bus itu berhenti yang artinya aku telah sampai di desa yang
dituju. Cukup melelahkan menunggu berjam-jam di bus, namun pada akhirnya tiba juga di desa ini.
Saat melihat desa itu duniaku seolah-olah berputar Drg.Yuni yang bertugas di kota menjadi Drg.Yuni yang bertugas di desa. Aneh namun semakin menantang buatku. Bagiku bekerja di desa menjadi sebagai refreshing. Dan akan kujalani sepenuh hati.
Lanjut deh,,, Sungguh indah desa yang kulihat ini dengan pohon yang berbuah, ada bebek yang bekejar-kejaran, sawah yang terbentang luas, dan yang membuat desa ini tambah indah karena ada sungai yang sangat jernih sangat cocok untuk berenang.. hehehe yang tambah senang lagi karena warga di desa ini menyambut dan menghormati tamu yang datang bahkan mereka sangat ramah. Satu lagi, mereka tidak membeda-bedakan orang semua sama “tak ada yang berbeda”, seperti lirik lagunya Nidji yah “kita semua sama tak ada yang berbeda,,, hehe stop jangan dilanjut. Tapi lanjut yang satu ini. Yah, sesudah ini saya menuju rumah yang akan di huni untuk sementara. Sesampai disana ku perhatikan segala sudut dari sisi rumah ini cukup bersih. Begitu menuju kamar dan melihat kasur yang memanggil ku lalu segera ku mendekatinya dan telentang diatasnya sambil menimati pemandangan yang indah di luar dari dalam rumah, yah kaca yang cukup bening untuk melihat pemandangan dari dalam.
Keesokan harinya, cuaca yang baik dan suasana yang menyejukkan membuat hati ini damai dan tentram. Saatnya untuk memulai aktivitas hari ini. Dan ini yang kali pertama aku menjalankan profesiku sebagai seorang dokter di sebuah desa. Saat membuka klinik tempatku melakukan praktek. Belum lama membuka, warga sudah berdatangan dengan berbagai macam keluhan. “Dok, kemarin baru saya tau kalau ada seorang dokter gigi disini, weh Dok mapeddi isikku mau lalo ka mate nataro Dok.” kata salah seorang diantara warga yang lain. “Iyye Dok”, sahutan warga yang berdatangan. Terdiam sambil berpikir arti setiap kata yang diucapkan, untungnya saya asal bugis juga jadi bisa mengerti apa yang mereka katakan, cukup menggelikkan mendengar perkataan mereka. Rasanya ingin tertawa tapi tertahan meliha keseriusan warga. Berusaha menahan tawa, sambil saya berkata,“Iya, Bu, Pak saya memang baru kemarin datang kesini. Senang sekali melihat Ibu dan Bapak yang kelihatannya semangat sekali untuk diperiksa giginya. Tapi sebelumnya saya minta maaf, kalau di kota tidak berdesakan seperti ini harus antri. Jadi, saya mohon kerja samanya dengan Bapak dan Ibu untuk antri. Kalau bisa dimulai dari yang pertama datang. Bagaimana Pak, Bu setuju dengan saran saya atau ada saran lain.” Setengah berbisik salah seorang warga berkata, “Iyye Dok terserah kita saja Dok yang mana baiknya menurut Dokter.” Masih berusaha menahan tawa, saya menjawab, “Ok kalau begitu kita bisa mulai sekarang.” Yah, cukup banyak pasien yang harus ditangani dan biasanya di kota ada seorang perawat yang membantu tapi kali ini harus melakukan semuanya sendiri. Tapi dibalik semua itu saya mengambil sebuah pelajaran untuk ikhlas melakukannya agar semua tidak sulit untuk dijalani. Baiklah untuk pasien pertama, Ibu Peni. Dengan agak bercanda saya berkata “Ehm, biar saya ramal, Ibu pasti lagi sakit gigi kan ?” Sembari tersenyum, “tanpa diramal muisseng memeng itu Dok, karena Dokter ki” kata Ibu Peni. Tidak bisa menahan tawa lagi, sampai tertawa didepan pasien ini karena lucu sekali bahasa bugisnya. Hehehe. Wajah agak heran dan menatap saya, pasien berkata, “Magaki Dok macawa?” menghentikan tawa dan berusaha serius “ Tidak ji, Bu. Oke Bu, coba sini saya lihat giginya.” Sambil tersenyum ramah, saya berkata “ Wah, ibu giginya sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena giginya sudah karies jadi harus dicabut.” Dengan gaya ke kanak-kanakan dan ketakutan pasien menjawab, “ Tapi mitauka di cabut issiku mapeddi matu.” Perkataan pasien dengan logat bugisnya membuat saya tertawa kecil, namun dengan sabar dan berusaha memberikan penjelasan, “Ibu ini lucu dan polos sekali, belum rasa bagaimana dicabut sudah bilang sakit memang sebelumnya sudah pernah mencoba sampai ketakutan begitu Ibu.” pasien kembali tenang, “Tidak pernah saya coba, tapi memang sakit dih Dok.”
Tidak Bu, tidak sakit kalau sudah di beri obat bius kalau tidak percaya coba saja dulu. Kalau sakit boleh ki segera tuntut saya.” Berusaha memberikan penjelasan. “Wihhh, Dok ku percaya sekali ki karena tidak mungkin mancaji Dokter kalau tidak bisa menyembuhkan pasien, ya sudah Dok cabut lalo mi issiku daripada mapeddi nataro.” Tersenyum dan memegang mulut pasien dan berkata, “kalau begitu buka mulut ta Bu, baru saya bius tidak takut lagi kan Bu.” Menutup mata kuat-kuat karena ketakutan, pasien berkata, “Cabut cepat Dok daripada mateka matu” . Saya hanya geleng-geleng kepala karena begitu polosnya Ibu ini. Dengan segera saya mengambil jarum suntik dan memberi obat bius pada giginya. Lalu segera mencabutnya. Setelah mencabut saya lalu mengambil kapas, pasien yang terus menutup matanya karena ketakutan. Tiba-tiba berkata, “Metta ladde sedding Dok, matekko ka nataro cabut.” “Ibu, giginya udah saya cabut, nih lagi ambil kapas.” Pasien lalu berdiri lalu memeluk saya dan berkata, “ Dok, dena mapeddi ku rasa, terima kasih banyak Dok.” cukup terharu bisa mengembalikan kegembiraan pasien, begitu lugu dan polos warga yang ada di desa Perangeng ini. Pasien lalu mengocek kantongnya dan memberi saya uang, saat ingin memberi pasien menghitung uangnya lalu berkata, “Denamega uang saya bawa, lisuka dulu ambil uang nah Dok, karena sedikit saya bawa uang.” Saat pasien akan pergi saya menarik tangannya dan berkata, “Ibu tidak perlu ambil uang banyak, ibu tidak bayar juga tidak masalah buat saya, buat orang bisa sembuh saya sudah bahagia jadi buat apa saya terima uang lagi kalau saya sudah merasa bahagia.” Dengan mata berkaca-kaca, pasien lalu memeluk saya dan berkata, “Subhanallah, Jika semua Dokter macam kita pasti tidak ada orang yang sakit, sembuh semua. Jadi bagaimana caranya saya balas kebaikan dokter ?” Begitu polos Ibu itu membuat saya tersipu malu, “Bu, cukup dengan ibu merawat gigi Ibu dan pulang sekarang kerumah dan jangan lupa minum obat 3 kali setelah makan.”
mengangkat tangan ke samping, dengan posisi hormat lalu berkata, “Siap menjalankan tugas, Dok.” Tersenyum, sedikit tertawa kecil terhadap pasien dan mersa sangat bahagia bisa membuatnya tertawa. Gaya yang unik dan cara bicara pasien itu membuat saya tidak bisa melupakan sosoknya yang kemudian berlalu meninggalkan ruang praktek saya. Begitu pasien selanjutnya yang datang terus-menerus dengan berbagai keluhan yang dirasakan, mulai dari sakit gigi, gigi yang mau ditambal sampai gigi yang harus dicabut. Terus bekerja sepanjang hari dan selesai ketika waktu sudah menunjukkan 12.00 malam. Cukup melelahkan namun banyak hal yang bisa saya petik hari ini. Baru sehari tapi sudah banyak hal yang saya dapat. Begitu juga wajah Ibu Peni yang terus membayangi saya, kepolosan dan keluguannya serta kelucuannya yang membuat ku terus tertawa sendiri. Mungkin kalau ada orang yang melihatku pasti akan berkata aku gila karena tertawa tidak jelas. Tapi apapun itu yang terpenting aku bahagia berada disini. Begitu lamunanku yang cukup panjang membuatku terlelap dalam tidur, terbuai mimpi.
Hari kedua ku berada di desa ini, semakin ku ingin tau seluk beluk desa ini. Karena hari ini libur, saya lalu akan memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan mengelilingi desa ini. Belum jauh dari rumah, terdengar suara yang memanggil walau agak samar-samar lama kelamaan semakin jelas, saat mencari suara itu yang ku temui adalah sosok seorang wanita yang kemarin menjadi salah satu pasien saya. Dia adalah Ibu Peni, sosok wanita yang polos dan lugu yah begitulah aku menilainya. Dok,dok,dok teriak Ibu itu. “Yah Bu, ada apa ? Apa gigi ibu masih sakit, kalau masih sakit ayo sekarang ke klinik saya”, panikkk..
Dokter ini bawel sekali saya panggil dokter bukan karena gigi saya, tapi loka molli ki ke bola ku”, menarik tangan saya seakan menuruti keinginannya. Sedikit malu-malu, “Tapi mau apa ke rumah Ibu?” “Sudah jangan banyak tanya Dok, ikuti saya saja” kata Ibu Peni.
Ok, tapi Ibu jangan pegang tangan saya keras-keras mapeddi” tanpa sadar saya berbahasa bugis campur makassar. Ibu itu lalu tertawa terbahak-bahak, hahaha “Wah, bisa juga Dokter bahasa Bugis dih.” Salah tingkah, “Yah Ibu, bisalah kan ibu yang ajarin.” “Jangan lah malu-malu Dok, mana mungkin saya yang ajar, kita saja baru bertemu kemarin, hayoooo”, kata Ibu Peni. “Ibu ni bisa saja. Tapi tidak salah ji yang saya bila toh, Bu?” Memukul pundak saya dengan begitu akrabnya dan berkata, “Kita tau ji artinya Mapeddi, Dok?” Kembali memukul pundak Ibu Peni dengan halus sambil berkata, “Tau lah bu, mana mungkin saya bilang kalau tidak tau, artinya itu sakit. Betul toh, Bu?” Ibu itu terdiam dan tidak menjawab pertanyaan saya. Melirik wajah Ibu itu dengan ragu-ragu lalu kembali bertanya, “Ibu, ibu kenapa ? Sepertinya sedih sekali, apa ada yang salah dari ucapan saya?” Menggelengkan kepala dan terus menundukkan kepala sepanjang perjalanan ke rumah Ibu Peni. Saya berusaha mengembalikan suasana dengan menghibur Ibu itu. Ibu Peni, yang cantik dan baik hatiiiii (melagu), tiba-tiba ibu itu tertawa terbahak-bahak kembali hahahaha “Dok, suaranya bagus sekali mengalahkan seluruh penyanyi di dunia ini yah” “Yah, ibu ngejek saya yah masa suara saya bisa mengalahkan seluruh penyanyi di dunia, ada-ada ja ibu ini”. Suasana kembali membaik ceria, tertawa dan bahagia yang dirasakan. Ku lihat pemandangan yang indah di desa ini, sungai yang jernih membuatku ingin segera menyebur kedalam tapi karena tidak bisa berenang yah apa mau dikata, hanya bisa melihat anak-anak berenang dengan begitu happy sambil bermain-main. Dan terlihat warga yang melambai-lambai dan tersenyum ketika melihat saya. Ibu Peni yang dari tadi menemani hari-hari saya lalu kembali menarik tangan saya dan menuju ke rumahnya. Sesampai disana ia lalu menyuruh saya menunggu sementara dia menuju ke arah dalam rumah yah mungkin arah dapur. Ku perhatikan segala foto yang terpajang didinding ruangan Ibu Peni, rumah ini begitu sepi tapi foto yang terlihat didinding ruangan keluarga ibu Peni begitu banyak membuat ku kembali bertanya-tanya. Seketika Ibu Peni lalu menepuk bahu saya tersentak kaget. “Dokter lihat pa ?” “Hmm, lihat foto itu bu, kelihatannya keluarga ibu banyak sekali taoi kog rumah ini sepi, mereka kemana semua,Bu ?” Dengan wajah sedih, Ibu itu kemudian mulai berbicara, “mereka semua sudah pergi meninggalkan ibu, mereka semua sudah sukses bahkan karena kesuksesan, mereka sampai lupa dengan Ibu. Bahkan anak ibu yang ini (menunjuk foto yang ada difoto) sudah menjadi seorang dokter tapi dia begitu sibuk sampai tidak ada waktu bertemu Ibu.” Setelah mendengar kata Ibu itu saya menjadi ikut sedih kembali teringat dengan Ibu yang juga jauh dari saya. “Dok,dok kenapa sekarnag dokter yang kelihatan sedih”. “Eh ibu, tidak ji Bu saya jadi teringat dengan Ibu saya.” “Ya sudah Dok, lebih baik dokter makan ni kue buatan saya enak sekali dok” “Ough yh Bu, coba saya rasa,” sambil mencicipi makanan dan berbincang-bincang seharian. Tanpa terasa hari sudah gelap, bebek-bebek mulai masuk ke kandang, matahari pun telah berganti menjadi bulan bintang membuat saya berpamitan untuk segera pulang kerumah.
Detik demi detik berganti menjadi menit demi menit lalu jam demi jam kemudian hari demi hari terus berlanjut jadi minggu demi minggu, bulan demi bulan ku lalui hariku di desa itu,pasien yang ku tangani juga semakin berkurang karena warga sudah mengetahui arti penting merawat gigi. Tanpa terasa hari di mana saatnya aku harus pergi karena masa ku untuk bekerja di desa sudah selesai. Saat pergi seperti ada yang hilang dalam hidup ini tapi entahlah apapun itu, sebelum pergi aku berpamitan dengan seluruh warga dan berpesan agar mereka rajin merawat gigi. Mereka semua bersedih karena harus kehilangan sosok seorang dokter di desa ini tapi aku berjanji kalau suatu saat nanti aku akan kembali dan menetap di desa ini selamanya. Begitu kesedihan yang kurasakan saat akan meninggalkan desa ini. Banyak hal yang ku dapat dari desa ini mulai dari kebersamaan, tidak ada perbedaan semua sama, dan satu lagi yang sangat penting yaitu menolong tanpa pamrih. Ku teringat akan sebuah hadis yang mengatakan “Kalian tak bisa merasakan surga jika tidak dekat dengan kasih sayang terhadap sesama” hadis ini mengartikan betapa dekatnya saya dengan Ibu Peni. Sosok wanita yang sebelumnya belum saya kenal tapi sekarang beliau sudah menganggap saya sebagai anaknya. Saya yang menolongnya beliau mencabut giginya tapi beliau tidak mampu membayar saya dengan uang tapi MasyaAllah, Allah memberikan yang lebih buatku yaitu orang-orang yang menyayangiku. Terkadang kita memang mengartikan uang adalah segalanya tapi kapan kita terus berpikir seperti itu maka tidak akan ada kebahagiaan yang kita peroleh, tapi kapan kita berpikir menolong orang tanpa meminta apapun maka kita akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya seperti apa yang saya rasakan saat ini. Dan akhir dari kisah ini adalah “JANGAN PERNAH MENOLONG UNTUK UANG TAPI MENOLONGLAH KARENA ITU KEWAJIBAN
Kisah ini tidak berakhir bahagia dan tidak berakhir dengan sedih, tapi berakhir dengan bahagia dan sedih ( Happy and sad ending). Kisah ini bukan kisah nyata tapi suatu saat nanti ini akan menjadi nyata percayalah..........!!!!! ^_^









Semoga kisah ini menjadi inspirasi bagi pembaca, saya sebagai penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan. Maklum penulis juga bukan manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah, jika benar itu datangnya dari Allah dan salahnya dari penulis itu sendiri. Sekian yang bisa penulis kisahkan sekali lagi lebih dan kurangnya penulis meminta maaf semoga kisah ini bermanfaat dan bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang membaca.
Jika ada kritik dan saran mohon disampaikan karena Insya Allah bisa menjadikan penulis untuk lebih kritis lagi dan bisa menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Sekian dan terima kasih penulis ucapkan kepada para pendukung yang senantiasa memberi support kepada penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik.
Akhirul kalam....
Wassalamu'alaikum Wr.Wb ^_^












RWAYAT PENULIS
Nama lengkapku : Yunikartika. Biasanya di panggil : Yuni
Tempat, tanggal lahirku : Kalabakan, 29 Juni 1994
Saya anak ke-dua dari empat bersaudara
Agamaku Islam Insya Allah 100%
Saya berasal dari keluarga yang sederhana bukan dari golongan bangsawan.
Alamat rumahku di Makassar : Daya Mangga 3 Perum, Angkatan Laut Blok E9
Asal daerah dari Nunukan, Kalimantan Utara
Riwayat Pendidikan : SDN 004 Nunukan, SMPN 2 Nunukan dan SMAN 1 Nunukan dan sekarang kuliah di UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Prodi Kedokteran Gigi.
Saya masih memiliki kedua orang tua Alhamdulillah...
Ayah bernama Amiruddin. Beliau bekerja di Malaysia tepatnya di Tawau pekerjaannya Swasta. Saya sangat menyayangi beliau sebagaimana beliau menyayangku
Ibu bernama Kartini. Sekarang beliau hanya sebagai IRT yang jauh dari ku. Mereka berdua jauh dariku kalau ayah di Malaysia sedangkan Ibu di Nunukan tapi meskipun begitu komunikasi tidak akan pernah putus. Istilahnya “jauh dimata tapi dekat dihati”
Karangan ini juga menjadi inspirasi buatku untuk membantu sesama dengan tulus ikhlas tanpa pamrih sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW.
Kesannya saat menulis karangan ini cukup terharu juga, apalagi kalau ini benar terjadi di kehidupan penulis suatu saat nanti..
Pesannya, semoga ini bisa menyadarkan kita untuk menolong sesama bukan karena uang tapi menolong merupakan kewajiban. ^_^
SEKIAN DAN TERIMA KASIH :)

2 opmerkings:

  1. Terharu pas baca yg terakhirnya

    AntwoordVee uit
  2. Betway Casino Site Review 2021 - LuckyClub
    Our comprehensive Betway Casino site review & bonus offers, games, banking, bonus codes, luckyclub and more. Play now. Live Chat & Chat Withdrawals.

    AntwoordVee uit