Makassar, 28 Januari 2013
KISAHKU,,,
JIKA AKU MENJADI.....
“MENOLONG
BUKAN UNTUK UANG TAPI KARENA KEWAJIBAN”
DISUSUN OLEH :
NAMA
:YUNIKARTIKA
STAMBUK : 111 212
0004
PROGRAM STUDI
KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Semoga cerpen ini bermanfaat dan
bisa menginspirasi..... Ok Siiiippp ^_^
Matahari muncul dari tempat
persembunyiannya, dedaunan menari-nari, ayam bernyanyi, dan burung
yang berkicau membangunkan ku yang terbuai mimpi. Kamar yang
berantakan, kertas-kertas yang berserakan membuatku tersentak kaget
dan segera merapikannya. Koper yang berada di sudut kamar membuatku
teringat untuk segera membereskan pakaian karena harus pergi kesuatu
desa untuk melaksanakan tanggung jawab yang besar yaitu tanggung
jawab seorang dokter. Dalam hati, ku berkata “aku siap kemana pun
jika itu adalah jihad yang ku tempuh untuk memperoleh ridho-Nya.”
Setelah semua selesai, aku siap untuk berangkat.
Setiba di antrian bus, aku siap
naik di bus dengan desak-desakan dengan penumpang lainnya. Namun
tubuhku masih bisa menyelip seperti layaknya seorang pencuri yang
cepat dan ahli... huhu. Sejam kemudian bus itu pun berangkat.
Menikmati udara yang mendamaikan hatiku, angin yang sepoi-sepoi
sepanjang perjalanan membuat hari itu terasa dingin. Sambil kulirik
kertas yang bertuliskan Desa Perangeng Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan yah disinilah tempat yang aku tuju untuk memenuhi tugas dan
tanggung jawabku sebagai seorang dokter yang wajib menolong orang
yang sakit.
Beberapa jam kemudian, bus itu
berhenti yang artinya aku telah sampai di desa yang
dituju. Cukup melelahkan menunggu
berjam-jam di bus, namun pada akhirnya tiba juga di desa ini.
Saat melihat desa itu duniaku
seolah-olah berputar Drg.Yuni yang bertugas di kota menjadi Drg.Yuni
yang bertugas di desa. Aneh namun semakin menantang buatku. Bagiku
bekerja di desa menjadi sebagai refreshing. Dan akan kujalani sepenuh
hati.
Lanjut deh,,, Sungguh indah desa
yang kulihat ini dengan pohon yang berbuah, ada bebek yang
bekejar-kejaran, sawah yang terbentang luas, dan yang membuat desa
ini tambah indah karena ada sungai yang sangat jernih sangat cocok
untuk berenang.. hehehe yang tambah senang lagi karena warga di desa
ini menyambut dan menghormati tamu yang datang bahkan mereka sangat
ramah. Satu lagi, mereka tidak membeda-bedakan orang semua sama “tak
ada yang berbeda”, seperti lirik lagunya Nidji yah “kita semua
sama tak ada yang berbeda,,, hehe stop jangan dilanjut. Tapi lanjut
yang satu ini. Yah, sesudah ini saya menuju rumah yang akan di huni
untuk sementara. Sesampai disana ku perhatikan segala sudut dari sisi
rumah ini cukup bersih. Begitu menuju kamar dan melihat kasur yang
memanggil ku lalu segera ku mendekatinya dan telentang diatasnya
sambil menimati pemandangan yang indah di luar dari dalam rumah, yah
kaca yang cukup bening untuk melihat pemandangan dari dalam.
Keesokan harinya, cuaca yang baik
dan suasana yang menyejukkan membuat hati ini damai dan tentram.
Saatnya untuk memulai aktivitas hari ini. Dan ini yang kali pertama
aku menjalankan profesiku sebagai seorang dokter di sebuah desa.
Saat membuka klinik tempatku melakukan praktek. Belum lama membuka,
warga sudah berdatangan dengan berbagai macam keluhan. “Dok,
kemarin baru saya tau kalau ada seorang dokter gigi disini, weh Dok
mapeddi isikku mau lalo ka mate nataro Dok.” kata salah seorang
diantara warga yang lain. “Iyye Dok”, sahutan warga yang
berdatangan. Terdiam sambil berpikir arti setiap kata yang diucapkan,
untungnya saya asal bugis juga jadi bisa mengerti apa yang mereka
katakan, cukup menggelikkan mendengar perkataan mereka. Rasanya ingin
tertawa tapi tertahan meliha keseriusan warga. Berusaha menahan tawa,
sambil saya berkata,“Iya, Bu, Pak saya memang baru kemarin datang
kesini. Senang sekali melihat Ibu dan Bapak yang kelihatannya
semangat sekali untuk diperiksa giginya. Tapi sebelumnya saya minta
maaf, kalau di kota tidak berdesakan seperti ini harus antri. Jadi,
saya mohon kerja samanya dengan Bapak dan Ibu untuk antri. Kalau bisa
dimulai dari yang pertama datang. Bagaimana Pak, Bu setuju dengan
saran saya atau ada saran lain.” Setengah berbisik salah seorang
warga berkata, “Iyye Dok terserah kita saja Dok yang mana baiknya
menurut Dokter.” Masih berusaha menahan tawa, saya menjawab, “Ok
kalau begitu kita bisa mulai sekarang.” Yah, cukup banyak pasien
yang harus ditangani dan biasanya di kota ada seorang perawat yang
membantu tapi kali ini harus melakukan semuanya sendiri. Tapi
dibalik semua itu saya mengambil sebuah pelajaran untuk ikhlas
melakukannya agar semua tidak sulit untuk dijalani. Baiklah untuk
pasien pertama, Ibu Peni. Dengan agak bercanda saya berkata “Ehm,
biar saya ramal, Ibu pasti lagi sakit gigi kan ?” Sembari
tersenyum, “tanpa diramal muisseng memeng itu Dok, karena Dokter
ki” kata Ibu Peni. Tidak bisa menahan tawa lagi, sampai tertawa
didepan pasien ini karena lucu sekali bahasa bugisnya. Hehehe. Wajah
agak heran dan menatap saya, pasien berkata, “Magaki Dok macawa?”
menghentikan tawa dan berusaha serius “ Tidak ji, Bu. Oke Bu, coba
sini saya lihat giginya.” Sambil tersenyum ramah, saya berkata “
Wah, ibu giginya sudah tidak bisa dipertahankan lagi karena giginya
sudah karies jadi harus dicabut.” Dengan gaya ke kanak-kanakan dan
ketakutan pasien menjawab, “ Tapi mitauka di cabut issiku mapeddi
matu.” Perkataan pasien dengan logat bugisnya membuat saya tertawa
kecil, namun dengan sabar dan berusaha memberikan penjelasan, “Ibu
ini lucu dan polos sekali, belum rasa bagaimana dicabut sudah bilang
sakit memang sebelumnya sudah pernah mencoba sampai ketakutan begitu
Ibu.” pasien kembali tenang, “Tidak pernah saya coba, tapi memang
sakit dih Dok.”
“Tidak Bu, tidak sakit kalau
sudah di beri obat bius kalau tidak percaya coba saja dulu. Kalau
sakit boleh ki segera tuntut saya.” Berusaha memberikan penjelasan.
“Wihhh, Dok ku percaya sekali ki karena tidak mungkin mancaji
Dokter kalau tidak bisa menyembuhkan pasien, ya sudah Dok cabut lalo
mi issiku daripada mapeddi nataro.” Tersenyum dan memegang mulut
pasien dan berkata, “kalau begitu buka mulut ta Bu, baru saya bius
tidak takut lagi kan Bu.” Menutup mata kuat-kuat karena ketakutan,
pasien berkata, “Cabut cepat Dok daripada mateka matu” . Saya
hanya geleng-geleng kepala karena begitu polosnya Ibu ini. Dengan
segera saya mengambil jarum suntik dan memberi obat bius pada
giginya. Lalu segera mencabutnya. Setelah mencabut saya lalu
mengambil kapas, pasien yang terus menutup matanya karena ketakutan.
Tiba-tiba berkata, “Metta ladde sedding Dok, matekko ka nataro
cabut.” “Ibu, giginya udah saya cabut, nih lagi ambil kapas.”
Pasien lalu berdiri lalu memeluk saya dan berkata, “ Dok, dena
mapeddi ku rasa, terima kasih banyak Dok.” cukup terharu bisa
mengembalikan kegembiraan pasien, begitu lugu dan polos warga yang
ada di desa Perangeng ini. Pasien lalu mengocek kantongnya dan
memberi saya uang, saat ingin memberi pasien menghitung uangnya lalu
berkata, “Denamega uang saya bawa, lisuka dulu ambil uang nah Dok,
karena sedikit saya bawa uang.” Saat pasien akan pergi saya menarik
tangannya dan berkata, “Ibu tidak perlu ambil uang banyak, ibu
tidak bayar juga tidak masalah buat saya, buat orang bisa sembuh saya
sudah bahagia jadi buat apa saya terima uang lagi kalau saya sudah
merasa bahagia.” Dengan mata berkaca-kaca, pasien lalu memeluk saya
dan berkata, “Subhanallah, Jika semua Dokter macam kita pasti tidak
ada orang yang sakit, sembuh semua. Jadi bagaimana caranya saya balas
kebaikan dokter ?” Begitu polos Ibu itu membuat saya tersipu malu,
“Bu, cukup dengan ibu merawat gigi Ibu dan pulang sekarang kerumah
dan jangan lupa minum obat 3 kali setelah makan.”
mengangkat tangan ke samping,
dengan posisi hormat lalu berkata, “Siap menjalankan tugas, Dok.”
Tersenyum, sedikit tertawa kecil terhadap pasien dan mersa sangat
bahagia bisa membuatnya tertawa. Gaya yang unik dan cara bicara
pasien itu membuat saya tidak bisa melupakan sosoknya yang kemudian
berlalu meninggalkan ruang praktek saya. Begitu pasien selanjutnya
yang datang terus-menerus dengan berbagai keluhan yang dirasakan,
mulai dari sakit gigi, gigi yang mau ditambal sampai gigi yang harus
dicabut. Terus bekerja sepanjang hari dan selesai ketika waktu sudah
menunjukkan 12.00 malam. Cukup melelahkan namun banyak hal yang bisa
saya petik hari ini. Baru sehari tapi sudah banyak hal yang saya
dapat. Begitu juga wajah Ibu Peni yang terus membayangi saya,
kepolosan dan keluguannya serta kelucuannya yang membuat ku terus
tertawa sendiri. Mungkin kalau ada orang yang melihatku pasti akan
berkata aku gila karena tertawa tidak jelas. Tapi apapun itu yang
terpenting aku bahagia berada disini. Begitu lamunanku yang cukup
panjang membuatku terlelap dalam tidur, terbuai mimpi.
Hari kedua ku berada di desa
ini, semakin ku ingin tau seluk beluk desa ini. Karena hari ini
libur, saya lalu akan memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan
mengelilingi desa ini. Belum jauh dari rumah, terdengar suara yang
memanggil walau agak samar-samar lama kelamaan semakin jelas, saat
mencari suara itu yang ku temui adalah sosok seorang wanita yang
kemarin menjadi salah satu pasien saya. Dia adalah Ibu Peni, sosok
wanita yang polos dan lugu yah begitulah aku menilainya. Dok,dok,dok
teriak Ibu itu. “Yah Bu, ada apa ? Apa gigi ibu masih sakit, kalau
masih sakit ayo sekarang ke klinik saya”, panikkk..
“Dokter ini bawel sekali saya
panggil dokter bukan karena gigi saya, tapi loka molli ki ke bola
ku”, menarik tangan saya seakan menuruti keinginannya. Sedikit
malu-malu, “Tapi mau apa ke rumah Ibu?” “Sudah jangan banyak
tanya Dok, ikuti saya saja” kata Ibu Peni.
“Ok, tapi Ibu jangan pegang
tangan saya keras-keras mapeddi” tanpa sadar saya berbahasa bugis
campur makassar. Ibu itu lalu tertawa terbahak-bahak, hahaha “Wah,
bisa juga Dokter bahasa Bugis dih.” Salah tingkah, “Yah Ibu,
bisalah kan ibu yang ajarin.” “Jangan lah malu-malu Dok, mana
mungkin saya yang ajar, kita saja baru bertemu kemarin, hayoooo”,
kata Ibu Peni. “Ibu ni bisa saja. Tapi tidak salah ji yang saya
bila toh, Bu?” Memukul pundak saya dengan begitu akrabnya dan
berkata, “Kita tau ji artinya Mapeddi, Dok?” Kembali memukul
pundak Ibu Peni dengan halus sambil berkata, “Tau lah bu, mana
mungkin saya bilang kalau tidak tau, artinya itu sakit. Betul toh,
Bu?” Ibu itu terdiam dan tidak menjawab pertanyaan saya. Melirik
wajah Ibu itu dengan ragu-ragu lalu kembali bertanya, “Ibu, ibu
kenapa ? Sepertinya sedih sekali, apa ada yang salah dari ucapan
saya?” Menggelengkan kepala dan terus menundukkan kepala sepanjang
perjalanan ke rumah Ibu Peni. Saya berusaha mengembalikan suasana
dengan menghibur Ibu itu. Ibu Peni, yang cantik dan baik hatiiiii
(melagu), tiba-tiba ibu itu tertawa terbahak-bahak kembali hahahaha
“Dok, suaranya bagus sekali mengalahkan seluruh penyanyi di dunia
ini yah” “Yah, ibu ngejek saya yah masa suara saya bisa
mengalahkan seluruh penyanyi di dunia, ada-ada ja ibu ini”. Suasana
kembali membaik ceria, tertawa dan bahagia yang dirasakan. Ku lihat
pemandangan yang indah di desa ini, sungai yang jernih membuatku
ingin segera menyebur kedalam tapi karena tidak bisa berenang yah apa
mau dikata, hanya bisa melihat anak-anak berenang dengan begitu happy
sambil bermain-main. Dan terlihat warga yang melambai-lambai dan
tersenyum ketika melihat saya. Ibu Peni yang dari tadi menemani
hari-hari saya lalu kembali menarik tangan saya dan menuju ke
rumahnya. Sesampai disana ia lalu menyuruh saya menunggu sementara
dia menuju ke arah dalam rumah yah mungkin arah dapur. Ku perhatikan
segala foto yang terpajang didinding ruangan Ibu Peni, rumah ini
begitu sepi tapi foto yang terlihat didinding ruangan keluarga ibu
Peni begitu banyak membuat ku kembali bertanya-tanya. Seketika Ibu
Peni lalu menepuk bahu saya tersentak kaget. “Dokter lihat pa ?”
“Hmm, lihat foto itu bu, kelihatannya keluarga ibu banyak sekali
taoi kog rumah ini sepi, mereka kemana semua,Bu ?” Dengan wajah
sedih, Ibu itu kemudian mulai berbicara, “mereka semua sudah pergi
meninggalkan ibu, mereka semua sudah sukses bahkan karena kesuksesan,
mereka sampai lupa dengan Ibu. Bahkan anak ibu yang ini (menunjuk
foto yang ada difoto) sudah menjadi seorang dokter tapi dia begitu
sibuk sampai tidak ada waktu bertemu Ibu.” Setelah mendengar kata
Ibu itu saya menjadi ikut sedih kembali teringat dengan Ibu yang juga
jauh dari saya. “Dok,dok kenapa sekarnag dokter yang kelihatan
sedih”. “Eh ibu, tidak ji Bu saya jadi teringat dengan Ibu saya.”
“Ya sudah Dok, lebih baik dokter makan ni kue buatan saya enak
sekali dok” “Ough yh Bu, coba saya rasa,” sambil mencicipi
makanan dan berbincang-bincang seharian. Tanpa terasa hari sudah
gelap, bebek-bebek mulai masuk ke kandang, matahari pun telah
berganti menjadi bulan bintang membuat saya berpamitan untuk segera
pulang kerumah.
Detik demi detik berganti
menjadi menit demi menit lalu jam demi jam kemudian hari demi hari
terus berlanjut jadi minggu demi minggu, bulan demi bulan ku lalui
hariku di desa itu,pasien yang ku tangani juga semakin berkurang
karena warga sudah mengetahui arti penting merawat gigi. Tanpa terasa
hari di mana saatnya aku harus pergi karena masa ku untuk bekerja di
desa sudah selesai. Saat pergi seperti ada yang hilang dalam hidup
ini tapi entahlah apapun itu, sebelum pergi aku berpamitan dengan
seluruh warga dan berpesan agar mereka rajin merawat gigi. Mereka
semua bersedih karena harus kehilangan sosok seorang dokter di desa
ini tapi aku berjanji kalau suatu saat nanti aku akan kembali dan
menetap di desa ini selamanya. Begitu kesedihan yang kurasakan saat
akan meninggalkan desa ini. Banyak hal yang ku dapat dari desa ini
mulai dari kebersamaan, tidak ada perbedaan semua sama, dan satu lagi
yang sangat penting yaitu menolong tanpa pamrih. Ku teringat akan
sebuah hadis yang mengatakan “Kalian tak bisa merasakan surga
jika tidak dekat dengan kasih sayang terhadap sesama” hadis
ini mengartikan betapa dekatnya saya dengan Ibu Peni. Sosok wanita
yang sebelumnya belum saya kenal tapi sekarang beliau sudah
menganggap saya sebagai anaknya. Saya yang menolongnya beliau
mencabut giginya tapi beliau tidak mampu membayar saya dengan uang
tapi MasyaAllah, Allah memberikan yang lebih buatku yaitu
orang-orang yang menyayangiku. Terkadang kita memang mengartikan uang
adalah segalanya tapi kapan kita terus berpikir seperti itu maka
tidak akan ada kebahagiaan yang kita peroleh, tapi kapan kita
berpikir menolong orang tanpa meminta apapun maka kita akan menemukan
kebahagiaan yang sesungguhnya seperti apa yang saya rasakan saat ini.
Dan akhir dari kisah ini adalah “JANGAN PERNAH MENOLONG UNTUK
UANG TAPI MENOLONGLAH KARENA ITU KEWAJIBAN”
Kisah ini tidak berakhir bahagia
dan tidak berakhir dengan sedih, tapi berakhir dengan bahagia dan
sedih ( Happy and sad ending). Kisah ini bukan kisah nyata tapi suatu
saat nanti ini akan menjadi nyata percayalah..........!!!!! ^_^
Semoga kisah ini menjadi
inspirasi bagi pembaca, saya sebagai penulis meminta maaf yang
sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan. Maklum penulis juga bukan
manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah, jika
benar itu datangnya dari Allah dan salahnya dari penulis itu sendiri.
Sekian yang bisa penulis kisahkan sekali lagi lebih dan kurangnya
penulis meminta maaf semoga kisah ini bermanfaat dan bisa menjadi
inspirasi bagi siapapun yang membaca.
Jika ada kritik dan saran mohon
disampaikan karena Insya Allah bisa menjadikan penulis untuk lebih
kritis lagi dan bisa menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Sekian dan terima kasih penulis
ucapkan kepada para pendukung yang senantiasa memberi support kepada
penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik.
Akhirul kalam....
Wassalamu'alaikum Wr.Wb ^_^
RWAYAT PENULIS
Nama lengkapku : Yunikartika.
Biasanya di panggil : Yuni
Tempat, tanggal lahirku :
Kalabakan, 29 Juni 1994
Saya anak ke-dua dari empat
bersaudara
Agamaku Islam Insya Allah 100%
Saya berasal dari keluarga yang
sederhana bukan dari golongan bangsawan.
Alamat rumahku di Makassar : Daya
Mangga 3 Perum, Angkatan Laut Blok E9
Asal daerah dari Nunukan,
Kalimantan Utara
Riwayat Pendidikan : SDN 004
Nunukan, SMPN 2 Nunukan dan SMAN 1 Nunukan dan sekarang kuliah di
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Prodi Kedokteran Gigi.
Saya masih memiliki kedua orang
tua Alhamdulillah...
Ayah bernama Amiruddin. Beliau
bekerja di Malaysia tepatnya di Tawau pekerjaannya Swasta. Saya
sangat menyayangi beliau sebagaimana beliau menyayangku
Ibu bernama Kartini. Sekarang
beliau hanya sebagai IRT yang jauh dari ku. Mereka berdua jauh dariku
kalau ayah di Malaysia sedangkan Ibu di Nunukan tapi meskipun begitu
komunikasi tidak akan pernah putus. Istilahnya “jauh dimata tapi
dekat dihati”
Karangan ini juga menjadi
inspirasi buatku untuk membantu sesama dengan tulus ikhlas tanpa
pamrih sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW.
Kesannya saat menulis karangan
ini cukup terharu juga, apalagi kalau ini benar terjadi di kehidupan
penulis suatu saat nanti..
Pesannya, semoga ini bisa
menyadarkan kita untuk menolong sesama bukan karena uang tapi
menolong merupakan kewajiban. ^_^
SEKIAN DAN TERIMA KASIH :)